Ternyata Do’a Tidak ‘Kun Fayakun’


Kun Fayakun


Oleh  Asmuni Syukir

Setidaknya kita sering mendengar bacaan surat Yasin, terutama ayat kedua dari akhir surat, yaitu: ”Idzâ arâda syaiân an yaqûla lahu kun fa yakûn”, ”apabila Allah menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ”Jadilah!”, maka terjadilah ia” (Qs. Yasin 82). Ayat ini seringkali dipahami sebagai bentuk ’bin salabin’ bagai tukang sulap, meskipun Allah Maha Tukang Sulap. Namun demikian Allah adalah Maha Konsisten dengan komitmen sunnah-Nya, bahwa segala sesuatu itu melalui proses kausalitas (sebab akibat). Hal ini dibuktikan sendiri oleh seorang ibu penjual (bakul) tempe.

Alkisah, pada pengajian Al-Qolam yang saat itu ketepatan bertemakan ”do’a”, ada seorang ibu (anggota jama’ah yang memang kesehariannya penjual tempe) bertanya, ”Bah, katanya Allah itu kalau menjadikan sesuatu cukup berkata ”kun fayakun” maka jadilah, tetapi yang menimpa diriku ternyata tidak demikian itu. Lalu di mana letak kebenarannya.” Semua hadirin terbelalak mendengar pertanyaan si ibu tersebut. Kemudian Pengasuh menimpalinya dengan berkata: ”Ceritakan saja apa yang ibu maksudkan.”

Si ibu penjual tempe itu menceritakan pengalaman pribadinya. Bahwa pada suatu hari ketika dia akan pergi ke pasar untuk menjual tempe yang dibuatnya, dia terkejut, ternyata tempe yang akan dijualnya masih belum jadi tempe (masih berwujud kedele atau tempe setengah jadi). Kejadian ini tentu membuat dia sangat sedih, karena tempenya tidak akan laku dijual, yang berarti tidak pula mendapat uang. Padahal hanya dengan jual tempe itulah ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Maka dalam suasana hati yang sedih itu, sambil tangannya diletakkan di sela-sela ”tempe setengah jadi” itu dia berdo’a: ”Ya Allah, aku mohon kepada-Mu agar tempe setengah jadi ini menjadi tempe beneran. Amin”. Demikian do’a singkat si ibu bakul tempe itu dengan penuh keyakinan bahwa Allah pasti mengabulkan do’anya.

Selepas berdo’a, ia pun menekan-nekan ”tempe setengah jadi” yang tertutup daun pisang tersebut. Dengan jantung berdebar, ia mulai membuka sebagian tutupnya untuk melihat jawaban atas do’a yang telah dipanjatkan kepada-Nya. Namun apa yang terjadi? Ternyata ”tempe setengah jadi” itu masih tetap berwujud kedele, belum menjadi tempe beneran. Meskipun demikian ia tidak terlalu kecewa. Ia berpikir, mungkin do’anya kurang jelas didengar Allah. Lalu ia pun berdo’a lagi, ”Ya Allah, aku yakin bagi-Mu tiada yang mustahil. Tolonglah aku agar hari ini aku bisa berjualan tempe, karena ini satu-satunya pencaharianku. Aku mohon Ya Allah, jadikanlah kedele ini menjadi tempe. Amin”. Dengan sangat berharap, iapun kembali membuka sebagian tutupnya untuk melihat jawaban atas do’a yang kedua kalinya. Namun apa yang terjadi? Ternyata keadaannya pun belum berubah, ”tempe setengah jadi” masih tetap berwujud kedele, belum menjadi tempe beneran.

Sementara hari semakin siang, sedang tempenya masih setengah jadi. Ia berpikir kalau terlalu siang pasar akan semakin sepi. Maka ia pun berketetapan, bahwa bagaimanapun juga aku akan tetap membawa ”tempe setengah jadi” ini ke pasar. Dalam hatinya terbesit, mungkin mukjizat Allah akan terjadi di tengah perjalanan menuju ke pasar. Lalu semua keperluan disiapkannya, dan sebelum berangkat ke pasar ia pun sempatkan berdo’a lagi untuk ketiga kalinya. ”Ya Allah, aku yakin Engkau akan mengabulkan do’aku. Selama perjalanan menuju pasar, ia pun sambil berdo’a dalam hati: ”Ciptakanlah mukjizat untukku, Ya Allah. Jadikanlah ”tempe setengah jadi” ini menjadi tempe beneran. Amin”.

Tidak lama kemudian sampailah ia di pasar, karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya), dan segera menata tempat untuk menggelar dagangannya. Sepethak demi sepethak ia ambil dari keranjang, sambil menekan-nekan tiap pethakan yang ada. Berbekal keyakinan yang sangat kuat bahwa dengan mukjizat Allah pethakan ”tempe setengah jadi” ini pasti sudah menjadi tempe beneran, perlahan-lahan ia membuka daun tutupnya dan melihat isinya. Maka apa yang terjadi? Ternyata tempenya masih saja belum jadi tempe.

Dari sinilah si ibu bakul tempe itu mulai jengkel dan merasa kecewa terhadap Allah. Ia bergumam bahwa Allah tidak adil dan tidak kasihan kepadanya. Kata-Nya bila menghendaki sesuatu Dia cukup berkata ”kun fayakun”, mana buktinya? Demikian gumamnya dalam hati, sambil duduk termenung meratapi nasib sialnya.  Tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sapaan seorang ibu yang mencari tempe setengah jadi. Maka seketika itu pula ia kaget dan terperangah. Ia pun cepat-cepat berdo’a, “Ya Allah, biarlah tempeku ini tetap ”tempe setengah jadi”. Tolonglah aku, Ya Allah”, berkali-kali dalam hati. Ia ragu menjawab si ibu di depannya itu, karena khawatir sudah terjadi mukjizat Allah benar-benar tempenya sudah jadi tempe beneran selama duduk termenung tadi. Lalu sambil menatap si ibu calon pembeli itu, ia pun membuka sedikit daun penutupnya dan melirik isinya. Ternyata, memang benar tempenya belum jadi tempe beneran. Maka secara spontan ia pun menjawab, “Alhamdulillah”. Walhasil, semua tempe setengah jadi itu diborong habis oleh si ibu tersebut.

Kisah si ibu bakul tempe tersebut kemudian menjadi bahan diskusi dalam pengajian Al-Qolam, yang intinya bahwa peristiwa yang dialami si ibu bakul tempe tersebut memberikan pelajaran kepada kita, bahwa:

Pertama, dalam berdo’a seringkali kita memaksakan kehendak Allah untuk menuruti kehendak kita.  Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kita dan apa pun yang kita perlukan.

Kedua, seringkali kita terlalu cepat memberikan vonis bahwa do’a kita tidak dikabulkan Allah seraya menunjukkan kekesalan dan kekecewaan kepada-Nya. Padahal Allah selalu menjawab do’a hamba-Nya, sudah barang tentu, sesuai dengan cara-Nya dan rancangan-Nya yang sama sekali di luar jangkauan daya pikir manusia.

Ketiga, kita yakin bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan, tetapi tidaklah ”bin salabin” atau ”kun fayakun” bagaikan tukang sulap atau tukang sihir, melainkan harus melalui proses perubahan diri atau usaha nyata yang mendukung terkabulkan-Nya do’a kita.

Keempat, berprasangka buruk terhadap Allah pasti akan kecele dan menuai kekecewaan. Padahal Dia telah berfirman (dalam hadits qudsi) bahwa ”Mengenai Aku terserah menurut prasangka hamba-Ku”. Artinya bahwa dalam konteks ini do’a terkabul atau tidak terkabul terserah pada prasangka yang berdo’a. Kalau kita berprasangka bahwa do’a kita tidak akan dikabulkan oleh Allah, maka pasti Allah tidak akan mengabulkan do’a kita. Ini namanya berprasangka buruk terhadap Allah.

Kelima, pastikan keyakinan kita bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak atas segala yang dikehendaki-Nya, termasuk berkehendak atau tidak berkehendak untuk mengabulkan setiap do’a permohonan hamba-Nya.*** Wallahu A’lam.

Jombang, 17 Mei 2010   

Artikel ini di ambil dari:

** Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam

Comments